Pengasuh Pesantren Bumi Sholawat KH Ali Masyhuri pada satu momentum Liga Santri 2017
Oleh Abdullah Alawi
Semasa bocah, sekitar tahun 1994, saya rutin mengikuti ngaji sore di madrasah. Waktu itu kitabnya Nadham Al-Maqshud atau biasa disebut Yaqulu oleh santri-santri Sunda karena kitab itu diawali kata tersebut. Jika anak-anak lain bermain atau masih angon kerbau, saya belajar fa’ala yaf’ulu fa’lan. Menghafal tsulasi mujarad, majid berikut wazan-wazannya.
Kebetulan ajengan yang mengajarkan kitab itu penggemar sepak bola. Tidak hanya menonton, tapi menjadi pemain. Hingga usia 45 tahun, pada 2003, ia masih turun ke lapangan memperkuat kesebelasan kampungnya. Posisinya bek tengah. Mungkin saking gemarnya, kadang, dengan mengenakan sarung, turut tendang-tendang bola di halaman madrasah bersama santri yang terpaut jauh usianya. Sepertinya kaki sang ajengan gatal jika melihat bola.
Konon, di masa mudanya, saat nyantri di Siqoyaturrahmah Sukabumi, pesantren yang diasuh KH Mahmud Mudrikah Hanafi (Rais Syuriyah PCNU saat ini), ia rutin bermain sepak bola bersama teman-temannya tiap libur ngaji, Kamis dan Jumat sore.
Kegemarannya pada sepak bola mempengaruhi jadwalnya mengajar pada tahun 1994-1995. Juga tahun-tahun setelahnya. Sebagai orang Jawa Barat, ia penggemar Persib Bandung yang turut berlaga pada Liga Dunhil tahun itu. Jika Persib berlaga, ngaji sore pun libur. Seluruh santri turut menonton di rumahnya, televisi hitam putih 14 inc merk Fujitec.
Pesantren dan Sepak Bola
KH Saifuddin Zuhri dalam novel autobiografisnya, Guruku Orang-orang dari Pesantren, meriwayatkan kebiasaan masa kecilnya sepulang dari sekolah:
“Sehabis makan siang dan shalat dzuhur, ada sedikit waktu bermain dengan teman-teman. Kalau tidak main sepak bola, main layang-layang atau cari ikan di sungai.”
Pada novel itu pula ia memperkenalkan sosok Kiai Mursyid asal kota Solo, seorang ahli ilmu agama di kampungnya, yang terampil bermain si kulit bundar. Tim mana pun yang dibela Kiai Musrsyid, bisa dipastikan mendapat kemenangan.
Di dalam novel karangan santri Sunda, Rahmatullah Ading Affandie (RAF) dalam Dongeng Enteng ti Pasantren mengisahkan sepak bola kalangan pesantren lebih detil lagi. Menurut dia, berdasarkan ucapan ajengan saat ia nyantri pada zaman penjajahan Jepang, menyebut olahraga sebagai bagian dari iman.
“Ari olahraga teh, eta sabagian tina iman. Ku Gusti Allah urang teh dipaparin badan. Tah eta badan teh ku urang kudu diriksa, sangkan sehat. Salian ti ku dahar, ngariksa badan teh kudu ku olah-raga, sangkan sehat.” Artinya, “Olahraga itu sebagian dari iman. Allah telah memberi kita badan. Pemberian itu harus dijaga supaya sehat. Selain dengan makan, badan harus dijaga dengan olahraga agar sehat.” (halaman 45)
Pada novel itu, ajengan turut serta dalam permainan sepak bola bersama santrinya. Ia memakai sarung yang digulung lebih atas dari biasanya sehingga kelihatan celana sontognya (celana) yang panjangnya sampai ke betis, biasa digunakan di pesantren-pesantren Sunda.
Pernah ajengan tersebut bermain sepak bola. Pada sebuah insiden, ia tersungkur hingga ke pinggir lapangan oleh pemain lawan, yaitu santrinya sendiri. Ajengan sampai menderita sakit beberapa hari.
Santri yang melakukan tindakan itu dimarahi santri senior. Bahkan isteri ajengan sampai mendatangi santri tersebut dan memarahinya. Lalu bola milik santri itu disitanya. Ajengan juga sempat marah kepada pelaku. Namun beberapa hari kemudian, ia justru yang meminta maaf kepada pelaku. Menurutnya, dia dan santri itu sama-sama pemain di lapangan. Dan itulah risikonya ketika bermain sepak bola. (halaman 44)
Tentang olahraga, menurut ajengan tersebut bermanfaat dalam dua hal. “Saur Ajengan keneh, ari maen bal teh saenyana mah, ngalatih lahir jeung batin. Lahirna atuh badan jadi sehat, batinna atuh pikiran jadi cageur.” Artinya, “Kata ajengan juga, bermain sepak bola itu melatih lahir dan batin. Melatih lahir menjadikan badan sehat, sementara sehat batin membuat pikiran sehat.” (halaman 45)
RAF menilai pikiran ajengan semacam itu seperti perkataan ahli-ahli olahraga modern. Hanya berbeda kalimat dan cara menyampaikan sementara maksudnya adalah mens sana in corpore sano (jiwa yang sehat berada pada badan yang sehat). (halaman 45)
Padahal ajengan tersebut, sebagaimana dikisahkan pada bagian lain novel tersebut, tidak mengenyam perguruan tinggi. RAF menjelaskan profil ajengan seperti berikut:
“Ajengan tidak pernah sekolah, tak pernah mendapat didikan universitas. Tapi aku yakin, ajengan yang tinggal di kampung itu orang pintar, orang yang otodidak. Caranya dia mengajar, meski dia tidak mendapatkannya dari buku, tapi mudah dimengerti. Meski sering membentak, tapi disegani santri-santrinya. Malahan jadi payung bagi orang-orang kampungnya. Penemuannya asli, bukan dari buku orang lain. Meski begitu, tetap dalam dan mengandung kebenaran. Luas pemikirannya, luhur penemuannya. Singkatnya, bukan orang mentah. Tidak banyak sekarang juga aku menemukan orang seperti ajengan. Pedoman dia, “Tafakur sejam, lebih berguna daripada shalat berjumpalitan enam puluh hari tanpa tafakur.” (halaman 8).
Dari novel itu, santri bernama RAF tersebut merupakan penggemar sepak bola juga. Ia adalah pemain utama saat bertanding dengan pesantren-pesantren tetangga. Ia jenderal lapangan. Taktiknya dalam sepak bola ia tuangkan dalam novelnya berbahasa Sunda yang lain, Bentang Lapangan. Ia menulis buku tersebut dari sudut pandang pelatih.
Pemain dan Pengamat
Kemenangan tim Garuda Muda pada Sabtu (7/7) malam mengantarkan tim Indonesia ke babak selanjutnya di Piala AFF 2018. Kemenangan itu berkat gol tunggal dari seorang santri, M. Rafly Mursalim. Ia pernah menjadi santri Al-Asy’ariyah Tangerang yang memperkuat pesantrennya di musim Liga Santri 2016. Ia mesin gol waktu itu. Namun, timnya tak beruntung, hanya masuk semi final.
Tak banyak memang pemain asal pesantren yang sampai di liga profesional. Apalagi Piala Dunia. Namun, bukan berarti tidak ada. Zaenal Arif misalnya, pemain asal Persib Bandung pernah nyantri di sebuah pondok pesantren di Cikajang, Garut. Bahkan sempat juara Musabaqah Tilawatil Qur’an tingkat kecamatan. Bacaan Al-Qur’annya dipuji Ketua Pengurus Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah atau asosiasi pondok pesantren NU, KH Abdul Ghofarrozin ketika pembukaan putaran final Liga Santri Nusantara di GOR Pasundan, Kota Bandung, 2017.
Legenda hidup Persija Jakarta, Nuralim, kepada saya, mengaku dekat dengan tradisi pondok pesantren karena ia selama 6 tahun belajar di Madrasah Ibtidaiyah Najahul Islam Bekasi. Hal itu dikemukakannya saat menjadi pencari bakat di musim Liga Santri 2017 di GOR Siliwangi Bandung.
Pondok pesantren juga melahirkan komentator sepak bola. Dalam hal ini adalah Ketua Umum PBNU 1984-1999 KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Menurut pengamat sepak bola nasional, M. Kusnaeni, amatan sepak bola Gus Dur memiliki tempat tersendiri, yaitu pengamat dengan pendekatan filosofis yang visioner.
Penulis adalah santri penggemar sepak bola amatiran