Setidaknya ada tiga konsekuensi besar setelah kembalinya IPNU dan IPPNU sebagai organisasi pelajar, yaitu mengembalikan basis IPNU dan IPPNU ke sekolah dan pesantren, membangun gerakan berbasis talenta di kalangan pelajar NU, dan melakukan advokasi pelajar. ketiganya harus berjalan bersama seiring dengan meningkatnya kesadaran kita akan peran yang semestinya dimainkan oleh organisasi pengkaderan ini. Tugas ini adalah sebuah keniscayaan sebagai tuntutan atau tepatnya kebutuhan sejarah.
Mengembalikan IPNU dan IPPNU ke kandangnya (sekolah dan pesantren) menjadi sangat urgent untuk melakukan kaderisasi di kalangan remaja terdidik. Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa pelajar adalah investasi masa depan bagi NU dan bangsa. Sementara ada kenyataan bahwa pelajar NU sebagai kekuatan masa depan kini tidak mendapat perhatian yang optimal oleh Nahdlatul Ulama, terutama dalam hal penanaman nilai dan gerakan. Oleh karena itu dibutuhkan organisasi yang secara intensif menjadi wadah aktualisasi bagi pelajar dan santri NU.
Untuk merealisasikan agenda ini, maka IPNU dan IPPNU harus ekspansi ke sekolah dan pesantren. Agenda ini sebenarnya sudah dimulai, meskipun belum menyeluruh dan terjadi hanya di sekolah di bawah naungan LP. Ma’arif NU. Agenda masuk sekolah bahkan harus direalisasikan tidak hanya pada sekolah yang bernaung di bawah LP. Ma’arif NU, melainkan juga sekolah non-Ma’arif yang berbasis NU maupun sekolah umum sekalipun. Demikian juga di pesantren. Meskipun di beberapa daerah IPNU dan IPPNU sudah masuk pesantren, namun sampai hari ini belum optimal. Padahal pesantren adalah bagian terpenting dari keberadaan Nahdlatul Ulama. Terlebih sekarang, pesantren diakui sebagai pendidikan yang setara pendidikan formal. Artinya, menggarap segmen santri tidak boleh dipandang tidak sepenting menggarap segmen siswa. Memang kendala terbesar menurut keluhan di beberapa daerah adalah otonomi pesantren dan otoritas kiai.
Kebijakan IPNU dan IPPNU untuk masuk ke pondok pesantren tidak jarang bertabrakan dengan kebijakan pengasuh pesantren. Hal ini memang sedang menjadi perhatian kita. Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah mengapa IPNU dan IPPNU mesti masuk sekolah dan pesantren? Menjawab pertanyaan ini seharusnya diawali dengan membaca konteks sosial dan kebijakan politik yang telah melingkupinya. Sebab, apa yang terjadi dalam pemerintah ini telah menentukan arah dan orientasi gerakan pelajar tanah air. Selama pemerintahan Orde Baru, pelajar baik dalam pengertian siswa maupun mahasiswa ditempatkan sebagai objek pendidikan semata. Mestinya pendidikan diarahkan untuk melakukan pembebasan dan pencerahan, tetapi yang dilakukan Orde Baru adalah pengebirian dan bahkan pembodohan.
Karenanya pendidikan yang diberikan tidak menciptakan ruang kesadaran kritis, melainkan menjadikan peserta didik teralienasi dari lingkungan sosialnya. Di Perguruan Tinggi, penerapan NKK/BKK merupakan bukti nyata bahwa penguasa ingin melakukan penguasaan terhadap mahasiswa yang merupakan elemen utama penggerak gerakan dan aksi sosial. Aksi sosial yang dimaksud berupa kritik dan tuntutan ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat. Dengan menormalkan kehidupan kampus, penguasa berharap mahasiswa tidak lagi vokal dan hanya diasyikkan dengan kegiatan perkuliahan yang ketat oleh sistem SKS. Hal yang sama dialami oleh siswa-siswa sekolah, mereka para pelajar abu-abu putih dan biru putih ini benar-benar dijauhkan dari realitas sosial.
Setumpukan buku-buku ajar yang harus dihafalkan agar dalam ujian mendapatkan angka yang tinggi, telah menyebabkan pelajar terlalu larut dalam dunia lain bernama sekolah. Dikatan “dunia lain” karena sekolah tak jarang mengajarkan banyak hal yang sama sekali beda dengan kehidupan nyata. Sebagai contoh, diruangan kelas sering kali diajarkan tentang geografi Indonesia yang begitu elok dari Sabang sampai Merauke. Sumber daya alam yang bisa diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui merupakan aset negara takterduga yang menurut teorinya dipergunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Namun kenyataannya, hutan di Kalimantan dibabat habis dan emas di Papua dieksploitasi sedemikian rupa.
Tentang kemana hasil pemanfaatan alam Indonesia itu mengalir, pelajar tak pernah diberitahu. Berbeda dengan mahasiswa dikampus yang terus melakukan perlawanan sehingga upaya kooptasi terhadap gerakan mahasiswa sedikit banyak tidak membuahkan hasil, di sekolah perlawanan serupa tidak terjadi. Maka penetrasi penguasa semakin menghujam dikalangan pelajar. Kalau mahasiswa terus mampu bergerak dan mencari sela sempit untuk terus menyuarakan kepentingan rakyat, maka siswa semakin terninabobokan dengan pelajaran-pelajarannya. Salah satu modusnya adalah kebijakan regulatif tentang organisasi intra sekolah, yaitu OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah). Kita Semua tahu bahwa keberadaan OSIS adalah “peninggalan” masa lalu. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari penyeragaman yang dilakukan oleh rezim Orde Baru untuk melakukan hegemoni. Oleh pemerintah OSIS ditetapkan sebagai satu-satunya organisasi intra sekolah. Kebijakan ini adalah bentuk pengkebirian aktivitas siswa oleh pemerintah.
Jika dicermati kebijakan ini adalah bentuk penyekatan gerakan pelajar agar bersifat terbatas dan tidak terorganisir secara nasional. Ketentuan bahwa OSIS yang dinisbatkan sebagai organisasi wajib dan satu-satunya organisasi intra sekolah bagaimanapun mempengaruhi ruang gerak pelajar. Kontrol dan indoktrinitas akan lebih mudah dilakukan ketika semua pelajar diharuskan masuk OSIS. OSIS berubah menjadi “lorong gelap” yang mengarahkan siswa kepada penjara ketertundukan. Masuknya IPNU dan IPPNU ke sekolah adalah upaya untuk memperbaiki sejarah dengan “perlawanan” terhadap warisan kebijakan lama itu. Kita sadar betul bahwa sudah saatnya pelajar diberi ruang yang luas untuk beraktualisasi dan melakukan pengembangan potensi.
Bahkan masuknya IPNU dan IPPNU ke dunia pelajar memberi kesempatan bagi pelajar untuk bergaul secara nasional. Tentu hal ini dengan maksud untuk menyediakan ruang kebebasan dan kompetisi bagi pelajar untuk beraktivitas dan belajar membaca realitas secara luas. Sekolah diharapkan menjadi wadah gagasan multiarah dari para pelajarnya. Tidak kalah pentingnya kesadaran yang diciptakan didalamnya membentuk pelajar untuk memahami realitas kebangsaan Indonesia yang plural dan multikultural. Karena iklimya dialogis dan bukan monologis merupakan hal yang tidak bisa ditawar. Penyeragaman dengan kontrol ketat sudah saatnya diakhiri. Pelajar dicarikan kesempatan untuk mengekspresikan segala macam kreatifitas positif yang melatih kedewasaan mental dan pola pikir. Membebani sekolah dengan fokus membebaskan pelajar dari kungkungan sistem pendidikan yang kurang manusiawi merupakan “medan perang” organisasi pelajar. Pijakannya, pendidikan seharusnya tidak melulu di sekolah yang beberapa jam, mulai pagi hingga siang, atau sampai sore yang ditambah dengan tambahan pelajaran les menjelang ujian.
Islam mengajarkan belajar tak pernah berhenti seumur hidup. Jadi, pendidikan tidak semata saat berada di sekolah. Saat berada di luar sekolah, masyarakatlah yang mengambil alih tanggung jawab itu. Dalam konteks ini keberadaan organisasi, terutama organisasi pelajar semacam IPNU dan IPPNU menempati posisi penting dan strategis. Internalisasi nilai-nilai dan dasar-dasar moral yang bersifat afektif menjadi penting untuk mendidik generasi yang tidak sekedar dapat menghafal tapi mempunyai sikap dan perilaku yang sesuai dengan potret manusia Indonesia dengan budi dan budayanya yang khas. Nilai-nilai moralitas harus diberikan kepada pelajar, agar dalam mengambil tindakan mereka mempunyai kendali nilai yang bijak dan berkarakter. IPNU dan IPPNU di sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang paling tepat untuk mengambil peran itu.
Belajar dari organisasi ekstra kampus yang telah dengan cepat melakukan akselerasi pengkaderan di tingkat mahasiswa, organisasi pelajar seharusnya dapat melakukan hal yang sama atau bahkan lebih. Untuk merealisasikan itu semua IPNU dan IPPNU yang telah menegaskan diri sebagai organisasi pelajar, memegang konsistensi sikap dan harapan yang fokus, terarah, terstruktur dan terukur. Sedangkan di pesantren, keberadaan dan peran IPNU dan IPPNU juga tak kalah signifikan. Signifikasi ini tidak lepas dari keberadaan pesantren yang merupakan “ibu” bagi kelahiran Nahdlatul Ulama. Dalam sejarahnya, NU dan pesantren merupakan dua entitas sosial yang tak dapat dipisahkan. Secara historis, NU lahir dari pesantren. Pesantren juga menjadi ladang bagi persemayaman dan pengembangan nilai-nilai dan ideologi ahlussunnah wal jama’ah.
Sepanjang berdirinya negara ini, pesantren adalah lembaga pendidikan yang didirikan oleh para ulama untuk mendidik, membimbing dan memberdayakan santri dan masyarakat dalam hal keagamaan, sosial, budaya dan politik kultural. Sebagai basis NU, dipesantrenlah para ulama dilahirkan. Dengan demikian pesantren adalah pusat pengembangan keilmuan (agama) yang memiliki peran strategis bagi masyarakat. Menyadari realitas kesejarahan tersebut, maka sebagai badan otonom yang bertugas melakukan kaderisasi, IPNU dan IPPNU berkewajiban memperkuat dan mendukung peran pesantren dalam melakukan kaderisasi ulama penerus Nahdlatul Ulama. Hal ini menjadi penting karena santri merupakan kader ideologis, intelektual dan organisatoris NU.
Masuknya IPNU dan IPPNU secara kelembagaan dalam pesantren dimaksudkan menjadi kepanjangan NU untuk melakukan kaderisasi, agar santri tidak saja kuat secara keilmuan dan tradisional, melainkan siap menjadi kader NU yang ideologis, militan, memiliki kapasitas dan “siap tempur” dalam mengembangkan NU dalam masyarakat. Hal ini semakin urgent, mengingat dalam sejarahnya, santri menjadi komponen penting dalam perubahan sosial dalam proses kebangsaan sejak negara ini berdiri, santri telah memegang peranan strategis. Sebagaimana dicatat secara rapi oleh sejarah, santri dan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional telah turut melakukan perlawanan terhadap kolonialisme baik secara fisik maupun kultural.
Secara kultural, pesantren telah berjasa dalam mendidik masyarakat dan menguatkan semangat nasionalisme. Masyarakat tradisionalis Indonesia menjadi salah satu kekuatan masyarakat sipil yang penting berkat peran pesantren. Dengan kata lain, santri adalah human resourse yang menjadi basis utama masyarakat tradisionalis Indonesia. IPNU dan IPPNU sebagai bagian dari organ civil society berbasis Islam tradisionalis berkewajiban turut mengawal posisi strategis santri dan pesantren sebagai bagian dari masyarakat sipil dan gerakan kependidikan. Hal ini agar santri-santri NU dapat menjaga semangat dan komitmennya pada perjuangan NU sebagai jamiyyah sosial keagamaan yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan umat. Langkah ini disamping sebagai pengejawantahan dari komitmen IPNU dan IPPNU “kembali kepelajar”, juga merupakan ikhtiar nyata untuk menguatkan kaderisasi dilevel basis.
Sebagai pondasi dasar NU sudah sepatutnya IPNU dan IPPNU mengembangkan dirinya lebih jauh dengan menyasar pelajar-pelajar NU baik dikalangan pelajar maupun santri. Hal ini menjadi sangat vital karena 10 sampai 20 tahun lagi para pelajar hari inilah yang akan mengambil peran di tubuh NU di masa mendatang. Mari kita mengembalikan pelajar kepada peran sesungguhnya yakni sebagai orang yang berpendidikan, agen perubahan dan kontrol sosial yang memiliki peran penting di masyarakat. Pendidikan adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar dan memiliki tujuan. Pendidikan bermakna mencapai suatu tujuan, maka tujuan itu menjadi hal yang penting dalam sebuah penyelenggaraan pendidikan. Secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai sarana anak menuju kepada kedewasaan, dewasa baik dari segi jasmani maupun rohani.
Dengan mengacu pada trilogi pertama di IPNU dan IPPNU yaitu “belajar”, belajar di sini memiliki arti sebagai proses panjang yang akan ditempuh seorang guna mencapai sebuah perubahan pada dirinya. Oleh sebab itu, IPNU dan IPPNU harus masuk ke sekolah dan pesantren yang notabennya sebagai tempat belajar. Masuknya IPNU dan IPPNU ke sekolah dan pesantren juga sebagai ikhtiar kaderisasi yang harus terus berjalan apapun dan bagaimanapun kondisinya. Karena kunci kesuksesan suatu organisasi salah satunya ialah SDMnya dan SDM yang terbaik adalah yang dibentuk melalui tahap-tahapan pengkaderan yang ada di IPNU dan IPPNU.
Pesan saya, “Yakinlah akan banyak keberkahan dan pengalaman hidup yang didapat selama mengurus IPNU dan IPPNU, jangan takut miskin, lapar, tidak dapat pekerjaan dan lain-lain. Organisasi untuk membuat kita membuka pikiran seluas-luasnya mengatasi itu semua”. (Lutfil Khakim Pembina PAC IPNU IPPNU Karangjati Ngawi) Wallahul Muwafiq Ila Aqwamith Thoriq, Salam Belajar, Berjuang dan Bertaqwa.
Oleh : Luthfil Khakim