Jika berita palsu disebar dengan intensitas yang tinggi dan mencapai banyak orang, maka orang akan cenderung menganggapnya sebagai kebenaran. Hal ini terutama terjadi jika berita tersebut berkaitan dengan hal-hal yang tidak sepenuhnya jelas atau memiliki banyak kemungkinan. Saat ini, para pemuka media sosial telah menyadari potensi kekuatan sosial media dalam menyampaikan pesan mereka, terlepas dari apakah pesan tersebut berasal dari ideologi kelompok, opini pribadi, atau bahkan upaya buzzer untuk keuntungan materi, meskipun hal tersebut dapat merugikan kepentingan publik.
Masyarakat dan media mainstream seringkali dianggap memihak kelompok tertentu, sehingga kepercayaan terhadap informasi yang disajikan menjadi kurang. Kelompok yang tidak setuju dengan pemerintah menganggap media mainstream sebagai alat propaganda pemerintah. Sedangkan, kelompok Islam tertentu merasa bahwa media saat ini memperlihatkan pengaruh ideologi sekuler atau Barat di Indonesia. Karena alasan tersebut, masyarakat mencari sumber informasi alternatif melalui sosial media. Namun, informasi yang tersebar di sosial media tidak dapat diverifikasi kebenarannya karena sumbernya tidak jelas. Biasanya, informasi hanya didasarkan pada kabar dari grup tetangga atau grup lain tanpa ada sumber yang jelas.
Kurangnya kritik dan tabayun dari masyarakat dalam menerima informasi dari sosial media dapat dilihat pada isu reklamasi di Teluk Jakarta. Informasi yang cepat menyebar melalui grup-grup WhatsApp mengklaim bahwa reklamasi seluas 800 hektar akan dihuni oleh 50 juta orang China. Namun, masyarakat tidak melakukan kritik atau perhitungan sederhana terkait informasi tersebut, seperti bagaimana mungkin 50 juta orang bisa hidup di lahan seluas 800 hektar, sedangkan Singapura, yang luasnya hanya 716 km persegi, hanya dihuni oleh 5,5 juta orang. Jakarta, dengan luas 661,5 km persegi, dihuni oleh 9,8 juta orang yang sudah sangat padat. Masyarakat cenderung membagikan informasi yang dianggap sebagai ancaman atau mengundang emosi tanpa melakukan pengecekan kritis.
Masyarakat umumnya tidak serius atau kritis saat membaca informasi yang beredar di media sosial. Informasi hanya dianggap sebagai pengisi waktu luang atau cara untuk menghilangkan kebosanan. Hal ini menyebabkan masalah sosial karena informasi yang tidak diverifikasi dianggap sebagai kebenaran. Menurut data dari UNESCO tahun 2012, minat baca di Indonesia sangat rendah, hanya 1 dari 1000 orang yang memiliki minat baca. Ini berarti hanya 250 ribu dari 250 juta penduduk Indonesia yang rajin membaca. Namun, di sisi lain, Indonesia adalah negara yang paling aktif dalam bermedia sosial, terutama Twitter. Jakarta bahkan dinobatkan sebagai ibukota Twitter dunia karena jumlah tweet yang dihasilkan. Dengan dua indikator yang saling bertentangan ini, yaitu aktif tetapi tidak berpengetahuan, kualitas informasi yang beredar di media sosial dapat dipertanyakan.
Perbaikan yang harus dilakukan oleh media arus utama adalah untuk menyampaikan informasi secara objektif dan akurat sehingga masyarakat dapat memahami berbagai sudut pandang dari suatu persoalan. Saat ini, media besar di Indonesia dioperasikan oleh kelompok-kelompok bisnis yang berorientasi pada keuntungan semata. Terkadang, berita yang disajikan hanya menonjolkan sisi sensasional untuk menarik pembaca tanpa memperhatikan tingkat keakuratan informasi. Selain itu, masyarakat merasa bosan dengan penggunaan media untuk kepentingan politik pemiliknya.
Kebijakan pemerintah yang melakukan pemblokiran situs-situs internet yang menyebarkan berita palsu, kebencian, dan radikalisme harus dilakukan dengan cermat terkait dengan mekanisme yang diterapkan. Hal ini penting untuk mencegah media digunakan untuk memecah belah bangsa dengan menyebarkan berita palsu, kebencian, dan radikalisme yang dapat menyebabkan kehancuran seperti yang terjadi di Timur Tengah. Namun, di sisi lain, pemerintah juga harus berhati-hati untuk tidak melakukan tindakan represif yang dapat membungkam kebebasan berekspresi yang dilakukan dengan cara yang baik dan santun. Sebagai catatan, hal ini menjadi pembelajaran bagi kita agar lebih memperhatikan dan memutuskan potensi-potensi yang berbahaya tersebut sejak awal.
Dewan Pers berencana memberikan verifikasi kepada media yang terpercaya dan juga akan membantu masyarakat untuk membedakan media yang terpercaya dengan media penyebar hoax. Namun, perlu diatur mekanisme untuk memudahkan media lokal atau media komunitas yang diakui publik untuk memperoleh verifikasi, tanpa harus melewati prosedur yang sama dengan media komersial yang memiliki tujuan dan skala yang berbeda.
Berbagai usaha tersebut merupakan bagian dari tindakan bersama dalam menghadapi penyebaran berita palsu yang pernah menjadi masalah serius di Indonesia. Semua pihak, termasuk pemerintah sebagai pengatur, industri sebagai penyedia layanan internet, komunitas, dan pemangku kepentingan lainnya, memiliki peran krusial dalam mencegah munculnya ketidakpercayaan masyarakat terhadap informasi di internet. Di samping itu, pendidikan masyarakat dalam membaca dan membagikan informasi dengan kritis serta tabayun dalam setiap menghadapi berita juga menjadi hal yang sangat penting. Terlalu banyak informasi yang tidak penting dan palsu di dunia maya dan dunia nyata dapat menghabiskan banyak energi yang sia-sia.(s)